Selasa, 22 Juni 2010

TUGAS WAORSNOP

PENGERTIAN, PERANAN, DAN FUNGSI MEDIA PENGAJARAN

A. Pengertian

Media adalah suatu alat yang dipakai sebagai saluranKata media, berasal dari bahasa Latin, bentuk jamak dari medium secara harfiah berarti perantara atau pengantar.

(chennel) untuk menyampaikan pesan (message) atau informasi dari suatu sumber (resource) kepad penerimanya (reciver) (Soeparno, 1988:1).

B. Definisi lain

Media adalah semua bentuk perantara yang dipakai orang penyebar ide, sehingga ide atau gagasan itu sampai pada penerima (Santoso S. hamijoyo).

Media merupakan segala bentuk yang digunakan untuk proses penyaluran informasi AECT).

Media adalah segala benda yang dimanipulasi, dilihat, didengar, dibaca, atau dibicarakan beserta instrumen yang digunakan untuk kegiatan tersebut (NEA).

Media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan yang merangsang yang sesuai untuk belajar (Brigg).

Media merupakan segala sesuatu yang dapat diindra yang berfungsi sebagai perantara, sarana, alat untuk proses komunikasi belajar mengajar (Rohani, 1997: 2-3)

C. Media, alat pelajaran, alat peraga

Media pengajaran berbeda dengan alat pelajaran atau alat peraga.

Alat pelajaran merupakan hardware (perangkat keras) yang dipakai untuk menunjang berlangsungnya proses belajar mengajar.

Alat peraga pada hakekatnya hanya merupakan alat yang berfungsi untuk menvisualisasikan konsep tertentu saja. Penggunaan kedua alat ini seratus persen di tangan guru.

Media merupakan paduan antara hardware (perangkat keras) dan software (perangkat lunak). Penggunaannya tidak tergantung pada kehadiran guru.

D. Peranan media

Mengatasi perbedaan pengalaman pribadi peserta didik.

Mengatasi batas-batas ruang kelas.

Mengatasi kesulitan apabila suatu benda yang diamati terlalu kecil.

Mengatasi gerak benda secara cepat atau lambat.

Mengatasi hal-hal yang terlalu kompleks untuk dipisahkan.

Mengatasi suara yang terlalau halus untuk didengar.

Mengatasi peristiwa-peristiwa alam.

Memungkinkan terjadinya kontak langsung dengan masyarakat atau alam.

Memungkinkan terjadinya kesamaan dalam pengamatan (Rohani, 1997:6).

E. Fungsi Media Pengajaran

Menurut Derek Rowntree, media pengajaran berfungsi membangkitkan motivasi belajar, mengulang apa yang telah dipelajari, menyediakan stimulus belajar, mengaktifkan respon siswa, memberikan balikan dengan segera, dan menggalakkan latihan yang serasi.

Menurut McKnown, media memiliki 4 fungsi, yaitu: mengubah titik tekan pengajaran dari instruksional akademis menjadi pengajaran yang mementingkan kebutuhan kehidupan siswa, membangkitkan motivasi belajar, memberikan kejelasan, dan memberikan rangsangan.

Menurut Edgar Dale dkk. media berfungsi: memberikan dasar pengalaman kongkret, mempertinggi perhatian siswa, memberikan realitas, memberikan hasil belajar permanen, menambah perbendaharaan non verbalistik, dan memberikan pengalaman baru

Menurut Edgar Dale dkk. media berfungsi: memberikan dasar pengalaman kongkret, mempertinggi perhatian siswa, memberikan realitas, memberikan hasil belajar permanen, menambah perbendaharaan non verbalistik, dan memberikan pengalaman baru

http://photos-c.ak.fbcdn.net/photos-ak-snc1/v2671/24/60/47701943014/a47701943014_1639970_5757670.jpg

Soal matematika? pusiiiing! Mungkin begitu tanggapan banyak orang jika ditanyai bagaimana sikap mereka jika menghadapi soal matematika. Meski demikian, soal dan matematika boleh dikata merupakan dua bagian yang melekat erat. Seseorang bisa mahir matematika dengan cara mengerjakan soal-soal yang cukup banyak dan variatif. Melalui soal-soal-lah seseorang dapat mengetahui ciri dan jiwa dari matematika itu sendiri.

Kini tahukah anda bahwa soal-soal bisa menjadi sesuatu yang sangat terkenal dan membawa pengaruh di kalangan para ahli matematika? adalah David Hilbert, seorang ahli matematika abad 20 yang mengumpulkan beberapa soal dengan tingkat kesulitan tinggi dan mempresentasikannya dalam Kongres Matematika Internasional pada tahun 1900. Ilmuwan yang juga dijuluki sebagai ahli matematika terbesar abad 20 ini mengemukakan “23 problems“, kumpulan soal sebanyak 23 buah dengan cakupan topik yang cukup luas. Mereka sebenarnya tidak murni berupa soal, beberapa di antaranya lebih tepat disebut topik riset. Salah satu di antara topik tersebut bahkan mencakup bidang fisika.

Pada mulanya Hilbert mengemukakan soal-soal tersebut tanpa jawaban sehingga memacu para ahli matematika untuk berlomba-lomba menyelesaikannya. Beberapa soal dapat dijawab dengan cepat, namun ada juga soal-soal yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikannya. Ini bukanlah hal yang aneh dalam dunia matematika, karena cara penyelesaian sebuah soal dapat mencakup beberapa konsep dan sudut pandang.

Apakah keduapuluh tiga soal tersebut saat ini sudah terjawab semuanya? Jawabannya adalah: BELUM. Satu abad lebih sudah berlalu, namun ada soal-soal yang masih menjadi misteri bagi para ahli matematika. Dari duapuluh tiga soal, saat ini tersisa dua soal yang masih belum terjawab. Mereka adalah Hipotesis Riemann dan pengembangan Teorema Kronecker-Weber, di mana keduanya merupakan topik dari salh satu cabang matematika yaitu Teori Bilangan. Soal pertama merupakan soal yang sangat terkenal dan menyangkut distribusi bilangan prima, di

mana bilangan prima sendiri merupakan salah satu misteri besar di dunia matematika. Begitu terkenal dan berpengaruhnya soal ini, hingga Hilbert sendiri berkomentar bahwa jika dia sudah meninggal dan dapat bangkit dari kematian, dia pertama kali akan bertanya apakah Hipotesis Riemann sudah terselesaikan!

23 problems bukanlah satu-satunya kumpulan soal yang terkenal. Di millennium ke-3 ini, sebuah organisasi matematika bernama Clay Mathematics Institute meluncurkan tujuh buah soal yang dikenal dengan Millenium Prize Problems. Sama seperti sebelumnya, soal-soal tersebut pada mulanya belum mempunyai penyelesaian dan saat ini satu dari ketujuh soal telah terselesaikan oleh ahli matematika Rusia, Grigori Perelman. Satu hal yang membedakan kumpulan soal ini dengan keduapuluh tiga soal terdahulu adalah adanya hadiah sebesar satu juta dolar bagi yang pertama kali dapat memecahkan soal tersebut. Melihat perkembangan ini, bukan tidak mungkin di masa mendatang akan muncul soal-soal baru yang tak kalah “pamor”nya dibanding dengan yang ada sekarang ini. Para ahli matematika akan tetap sibuk dan bahkan semakin sibuk untuk berkarya dalam matematika.

“Pembelajaran matematika harus selalu dikaitkan dengan kehidupan nyata”.

Kalimat ini sudah sering didengungkan oleh para pakar pendidikan, terutama pendidikan matematika. Begitu juga dengan para orang tua yang berpendapat bahwa cara terbaik untuk menjelaskan konsep-konsep matematika adalah dengan menggunakan kasus-kasus dalam kehidupan nyata. Namun, para peneliti dari Ohio State University menemukan sesuatu yang mengejutkan. Mahasiswa yang diberi penjelasan konsep matematika dengan menggunakan kasus-kasus realistik justru tidak bisa menggunakan pengetahuannya untuk situasi-situasi yang baru.

Simbol

Penelitian ini dipimpin oleh Jennifer Kaminski dan dipublikasikan di jurnal Science. Ia menemukan bahwa mahasiswa yang diberi pelajaran matematika dengan menggunakan simbol-simbol abstrak justru lebih bisa menerapkan pengetahuannya.

“Penemuan ini menimbulkan keraguan terhadap cara mendidik yang sudah kita percayai selama ini”, demikian kata asisten peneliti Vladimir Sloutsky. “Kita sudah sangat mempercayai metode pembelajaran dengan menggunakan kasus-kasus nyata, dan hal ini sekarang dipertanyakan”.

Para peneliti memeriksa daya tangkap mahasiswa dalam mempelajari konsep-konsep dasar matematika semisal hukum komutatif dan asosiatif, yaitu sebagai contoh belajar bahwa 2+3 sama dengan 3+2. Beberapa mahasiswa diajari dan diminta mengerjakan soal dengan

menggunakan notasi simbolis. Mahasiswa yang lain diajar dengan menggunakan kasus-kasus nyata, semisal menggunakan kasus mengukur banyaknya air dalam tempat penampung air dan menghitung berapa banyaknya bola yang ada pada sebuah keranjang bola.

Setelah diajari dengan menggunakan beberapa teknik pengajaran, mereka mengikuti tes pilihan ganda. Pada tahap ini sebagian besar mahasiswa dapat menerapkan pengetahuan yang telah mereka dapatkan, namun pada saat disuguhkan soal-soal baru yang menuntut penerapan prinsip, mereka yang belajar dengan menggunakan simbol-simbol abstrak dapat mengerjakan jauh lebih baik. Soal-soal baru yang digunakan pada eksperimen ini merupakan soal permainan yang belum pernah ada sebelumnya, di mana dibutuhkan konsep-konsep matematika yang baru saja dipelajari untuk memecahkannya. Mahasiswa kemudian diberikan sebuah tes kecil. Mereka yang belajar dengan menggunakan simbol-simbol abstrak dapat menjawab delapan puluh persen pertanyaan dengan benar, sedangkan mereka yang belajar dengan contoh-contoh kehidupan nyata memperoleh hasil yang tidak sebaik itu.

Contoh Nyata

Di percobaan lain, mahasiswa yang diajari dengan menggunakan contoh-contoh kehidupan nyata diminta untuk membandingkan dan mencari apa yang serupa dari contoh-contoh tersebut. Mereka selanjutnya diberi tes kecil lagi, dan memang mereka mengalami peningkatan, namun tidak sebanding dengan mahasiswa yang diajari dengan simbol-simbol abstrak. Para peneliti berpendapat bahwa hanya ada beberapa orang yang mendapatkan keuntungan lebih dari pembelajaran matematika dengan menggunakan kasus-kasus nyata.

Untuk eksperimen terakhir, para mahasiswa yang telah diajari dengan menggunakan kasus-kasus nyata kembali diberi pelajaran dengan menggunakan simbol-simbol abstrak. Pada tahap ini mereka yang belajar hanya dengan menggunakan simbol-simbol abstrak tetap dapat mengaplikasikan pengetahuannya dengan lebih baik. Para peneliti menduga bahwa contoh-contoh kehidupan nyata mengandung terlalu banyak informasi yang akhirnya mengaburkan konsep matematika yang ada di dalamnya.

“Kita benar-benar perlu membedah dan membawa konsep-konsep tersebut ke dalam notasi-notasi simbolis yang abstrak seperti variabel dan bilangan. Para mahasiswa akan lebih siap untuk menerapkan konsep-konsep tersebut ke berbagai macam situasi”, kata Kaminski.

Peneliti-peneliti ini berharap, temuan mereka akan menimbulkan perdebatan mengenai cara pembelajaran matematika yang paling efisien.

Televisi adalah salah satu contoh media audio visual karena menyediakan fasilitas berupa gambar dan suara. Pada saat ini televisi bukan lagi merupakan kebutuhan sekunder melainkan sudah menjadi kebutuhan primer. Hampir disetiap rumah terdapat televisi, tentu saja hal ini mempengaruhi pola hidup pelajar Indonesia, karena setiap hari televisi menayangkan beragam acara baik dalam negeri maupun luar negeri. Penelitian mengumgkap bahwa media audio visual seperti televisi dapat mempengaruhi penonton misalnya menimbulkan efek kekerasan. Penulis merasa miris dengan tayangan-tayangan saat ini, tayangan yang disajikan banyak yang mengumbar kemewahan, kekerasan, mistik dan lain-lain. Sekarang televisi bukan lagi memjadi media penyampaian informasi atau pesan-pesan moral melainkan menjadi media yang dapat merusak perilaku masyarakat khususnya pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar